Anestesi lokal didefinisikan sebagai
kehilangan sensasi pada area tertentu yang dipersarafi oleh nervus tertentu
pada tubuh akibat depresi eksitasi pada serabut saraf maupun akibat inhibisi
pada proses konduksi nervus perifer. (Malamed, S. F, 1.3)
Sedangkan Anestesiologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mendasar usaha dalam hal- hal pemberian
anestesi dan analgesic serta menjaga keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan atau tindakan, melakukan tindakan resusitasi pada penderita gawat,
mengelola unit perawatan intensif, memberi pelayanan terapi, penanggulangan
nyeri menahun bersama cabang ilmu kedokteran lainnya dan dengan peran serta
masyarakat secara aktif mengelola kedokteran gawat darurat.
Persiapan
Anestesi
Sebelum dilakukan pemberian anestesi
lokal, operator harus mempertimbangkan resiko yang dapat terjadi pada pasien.
Hal ini disebabkan oleh efek depresan yang merupakan salah satu efek dari obat-
obatan anestesi lokal. Selain itu, obat- obatan anestesi lokal pun memiliki
efek samping lain berupa bronkospasm yang sering kali menyebabkan
hiperventilasi maupun vasodepressor sinkop. Oleh karena itu, keadaan umum
pasien perlu dievaluasi sebelum melakukan tindakan anestesi.
Evaluasi Praanestesi dilakukan
melalui anamnesis serta evaluasi kondisi fisik pasien. Dalam anamnesis, pasien
ditanyakan tentang riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita, obat-
obatan yang sedang dikonsumi, riwayat alergi, dan juga beberapa keluhan-
keluhan yang mungkin dialami oleh pasien. Dalam evaluasi praanestesi ini pula
ditanyakan tentang ketakutan pasien sebelum dilakukan anestesi sehingga keadaan
psikologis pasien dapat pula dievaluasi.
Penyakit- penyakit yang umumnya ditanyakan
kepada pasien dalam evaluasi praanestesi adalah kelainan jantung, hipotensi,
diabetes, gagal ginjal, penyakit liver, alergi terhadap obat, hipertensi,
rematik, asma, anemia, epilepsy, serta kelainan darah.
Pemeriksaan fisik praanestesi
yang perlu dilakukan adalah inspeksi visual untuk mengobservasi adanya kelainan
pada postur tubuh pasien, gerakan tubuh, bicara, dan sebagainya; evaluasi tanda
vital; serta status kesehatan fisik menurut ASA.
Komplikasi
Anestesi Lokal
Pada pemberian anestesi lokal,
terdapat komplikasi yang mungkin saja terjadi. Komplikasi yang disebabkan
pemberian anestesi lokal dibagi menjadi dua, komplikasi lokal, dan komplikasi
sistemik. Komplikasi lokal merupakan komplikasi yang terjadi pada sekitar area
injeksi, sedangkan komplikasi sistemik merupakan komplikasi yang melibatkan
respon sistemik tubuh terhadap pemberian anestesi lokal.
Komplikasi
Lokal
a.
Jarum Patah
Penyebab utama jarum patah
adalah kondisi jarum yang fatig akibat dibengkokkan. Jarum patah dapat pula
disebabkan oleh kesalahan teknik saat administrasi, kelainan anatomi pasien,
serta jarum yang disterilkan berulang. Apabila kondisi ini terjadi, pasien
diinstruksikan untuk tidak bergerak dan tangan operator jangan dilepaskan dari mulut
pasien dan pasang bite block bila perlu. Jika patahan dapat terlihat, patahan
dapat dicoba diambil dengan arteri klem kecil. Namun, apabila jarum tidak
terlihat, insisi dan probing tidak boleh dilakukan dan segera konsultasikan ke
spesialis bedah mulut untuk diambil secara surgical.
b.
Rasa sakit
Rasa sakit saat administrasi
anestesi lokal disebabkan oleh penggunaan jarum yang tumpul, pengeluaran
anestetikum dengan terlalu cepat, serta tidak menguasai teknik anestesi lokal.
Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan anestesi topikal sebelum insersi jarum
dan mengeluarkan anestetikum secara perlahan, serta anestetikum yang digunakan
lebih baik jika suhunya sama dengan suhu tubuh.
c.
Parestesi atau Anestesi
Berkepanjangan
Parestesi atau anestesi yang berkepanjangan
dapat terjadi akibat trauma saraf, anestetikum bercampur alkohol, serta adanya
perdarahan pada sekitar saraf. Parestesi berkepanjangan dapat menyebabkan
trauma pada bibir yang tergigit dan apabila mengenai N. Lingualis dapat
menyebabkan mati rasa kecap. Sebagai upaya pencegahan, operator harus berhati-
hati saat administrasi dan menggunakan spuit sekali pakai sehingga tidak perlu
mensterilkan dengan larutan alkohol. Penanggulangan parestesi yang
berkepanjangan dapat dilakukan dengan penjelasan pada pasien bahwa hal tersebut
akan terjadi dalam waktu lama, control setiap dua bulan, dan apabila
berlangsung lebih dari satu tahun maka konsultasi neurologis diperlukan.
d.
Paralisis Fasial
Paralisis fasial disebabkan
oleh insersi jarum yang terlalu dalam saat blok N. Alveolaris Inferior sehingga
masuk ke kelenjar parotis dan mengenai cabang saraf wajah, biasanya N.
Orbicularis oculi. Penanggulangan hal tersebut dilakukan dengan memberitahu
pasien bahwa hal tersebut akan berlangsung selama beberapa jam dan mata pasien
harus dilindungi selama refleks berkedip belum kembali.
e.
Trismus
Trismus merupakan salah satu
komplikasi pemberian anestesi akibat adanya trauma pada M. Mastikatorius atau
pembuluh darah pada intra temporal fossa. Trismus dapat pula disebabkan oleh
anestesi lokal yang bercampur alkohol dan berdifusi ke jaringan sehingga
mengiritasi M. Mastikatorius. Penangulangan trismus dilakukan dengan cara
pemberian analgetik, kompes air panas selama 20 menit, latihan buka tutup mulut
selama 5 menit setiap 3-4 jam, dapat pula diberikan permen karet untuk melatih
gerakan lateral. Bila trismus berlanjut lebih dari 7 hari, maka konsulkan pada
spesialis bedah mulut.
f.
Hematom
Hematom sering terjadi pada
komplikasi blok N. Alveolaris Inferior, N. Alveolaris Superior Posterior, dan
N. Mentalis/ Insisif. Pencegahan hematom dapat dilakukan dengan mengetahui
anatomi sehingga tidak terjadi penyebaran darah ke ronga ekstravaskuler. Penggunaan
jarum pendek pada anestesi N. Alveolaris superior posterior juga dapat
dilakukan sebagai upaya meminimalisasi hematom. Penanggulangan hematom akibat
administrasi anestesi lokal adalah dengan menekan perdarahan dan jangan
mengompres panas selama 4-6 jam setelah kejadian, namun setelah satu hari dapat
dikompres hangat 20 menit per jam. Kompres dingin dapat dilakukan segera
setelah terjadi hematom untuk mengurangi perdarahan dan rasa sakit.
g.
Infeksi
Infeksi terjadi akibat
kontaminasi jarum dan dapat menyebabkan trismus. Bila infeksi berlanjut sampai
lebih dari hari ketiga, maka antibiotik diindikasikan untuk pasien tersebut.
h.
Edema
Edema disebabkan oleh trauma
selama anestesi lokal, infeksi, alergi, perdarahan, dan penyuntikan anestetikum
yang terkontaminasi alkohol. Penanggulangan edema dilakukan dengan observasi
bila edema disebabkan oleh trauma injeksi atau iritasi larutan, biasanya akan
hilang 1- 3 hari tanpa terapi. Sedangkan bila lebih dari 3 hari dan disertai
rasa sakit atau disfungsi mandibula, antibiotik sebaiknya diberikan untuk
pasien tersebut.
i.
Trauma jaringan lunak
Pada pasien anak- anak, atau
pasien dengan cacat mental, rasa baal setelah pemberian anestesi lokal dapat
menyebabkan pasien tersebut mengigit bibir maupun jaringan lunak lainnya.
Penanggulangan trauma jaringan lunak di sekitar area yang dianestesi dilakukan
dengan pemberian salep untuk mengurangi iritasi, analgesic, serta antibiotik
jika diperlukan.
j.
Lesi intraoral
Lesi intraoral umumnya
disebabkan oleh trauma jarum pada jaringan saat insersi. Penanggulangan lesi
ini dilakukan dengan pemberian topikal anestesi praanestesi, pemberian obat
kumur, dan pemberian antibiotik jika terjadi infeksi.
Komplikasi
Sistemik
a.
Reaksi psikis
Reaksi psikis yang sering
terjadi sebagai komplikasi sistemik akibat pemberian anestesi lokal adalah
sinkop atau serangan vasovagal. Hal ini merupakan gangguan emosional sebelum
penyuntikan. Pada saat terjadi reaksi psikis, arteri mengalami
vasodilatasi sehingga menyebabkan volume darah ke jantung berkurang sehingga
menyebabkan penurunan umpan balik kardiak yang menyebabkan hilang kesadaran
mendadak. Tanda- tanda reaksi psikis ini adalah pucat, mual, pusing, keringat
dingin, dan jika tidak ditangani cepat kesadaran akan hilang, pupil membesar,
denyut nadi lemah dan tidak teratur. Perawatan reaksi psikis ini adalah dengan
penaganan emergensi sinkop.
b.
Reaksi toksik
Reaksi toksik pada administrasi
anestesi lokal jarang terjadi bila penyuntikan dilakukan sesuai dengan
prosedurnya. Apabila aspirasi tidak dilakukan sebelum penyuntikan, maka
anestetikum akan masuk ke dalam intravaskuler sehingga menyebabkan overdosis.
Tanda- tanda reaksi toksik adalah terjadi konvulsi, gangguan pernafasan, dan syok.
c.
Reaksi alergi
Riwayat alergi pasien harus
ditanyakan praanestetikum sehingga meminimalisasi terjadinya reaksi alergi.
Reaksi alergi yang terjadi berbeda- beda dengan tingkat keparahan yang juga
berbeda. Tingkat reaksi alergi yang paling ringan adalah localized skin
reaction dengan gejala lokal eritema, edema, dan pruritus. Untuk tingkatan lesi
yang lebih parah yaitu reaksi pada kulit yang tergeneralisasi, antihistamin
perlu diberikan. Pada kasus alergi yang melibatkan traktus respiratorius, diberikan
epinefrin secara intramuscular kemudian melakukan prosedur emergensi. Tingkat
reaksi alergi yang paling parah adalah syok anafilaktik yag perlu ditangani
dengan segera dengan pemberian epinefrin IM atau IV, serta penaganan emergensi
syok.
d.
Virus Hepatitis/ HIV
Penyebaran kedua virus ini
dapat melalui jarum suntik. Oleh karena itu, jarum suntik harus digunakan
sekali pakai sebagai upaya pencegahan.
e.
Interaksi obat
Interaksi obat dapat terjadi
pada pasien yang mendapat obat sistemik. Secara umum, interaksi obat dengan
anestesi lokal sangat jarag. Namun, anestesi lokal yang mengandung noradrenalin
dapt merangsag respon tekanan darah pasien yang mendapatkan antidepresan
trisiklik. Karena itu, noradrenalin tidak dianjurkan untuk dipakai.
Teknik
Anestesi Blok Rahang Bawah
Anestesi
Blok Fisher’s
Teknik anestesi blok rahang bawah yang
paling sering digunakan adalah blok saraf alveolaris inferior atau lebih
dikenal dengan blok Fisher’s. Teknik blok anestesi blok rahang bawah ini sangat
berguna untuk anestesi satu regio pada rahang bawah. Pada teknik anestesi
blok Fisher’s ini, saraf yang teranestesi meliputi N. Alveolaris inferior,
cabang dari N. V3, N. Insisivus, N. Mentalis, dan N. Lingualis. Area yang teranestesi dengan teknik blok
Fisher’s adalah geligi mandibular sampai midline, corpus mandibula, ramus
inferior, mukoperiosteum bukal, mukus membrane anterior pada mandibula gigi
molar pertama, dua pertiga anterior lidah dan dasar mulut, serta jaringan lunak
lingual dan periosteum.
Indikasi teknik anestesi blok Fisher’s
adalah untuk prosedur pada gigi rahang bawah multiple pada satu region,
anestesi jaringan lunak buccal, anestesi jaringan lunak lingual. Sedangkan
kontraindikasi blok Fisher’s adalah adanya infeksi atau inflamasi akut pada
area injeksi, serta pasien dengan kemungkinan untuk menggigit jaringan lunak
yang teranestesi.
Keuntungan anestesi blok
Fisher’s adalah injeksi anestesi di satu tempat memberikan anestesi pada area
yang luas pada satu region. Namun, area yang luas pada anestesi blok Fisher’s
ini tidak diperlukan untuk keperluan prosedur lokal. Kerugian lain anestesi
blok Fisher’s ini adalah adanya persentase anesthesia yang tidak cukup,
intraoral landmark yang menjadi acuan penyuntikan kadang tidak terlihat, kadang
terjadi aspirasi positif, anestesi lingual dan bibir bawah menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pasien.
Teknik
Penyuntikan Anestesi Blok Rahang Bawah
Tahapan penyuntikan anestesi
blok Fisher’s adalah :
Jari telunjuk diletakkan di
belakang gigi molar ketiga kemudian digeser ke lateral untuk mencar linea
oblique eksterna lalu digeser ke median untuk mencari linea oblique interna
melalui trigonum retromolar.
Punggung jari harus menyentuh bucooklusal
gigi yang terakhir, lalu jarum dimasukkan kira- kira pada pertengahan lengkung
kuku dari sisi rahang yang tidak dianestesi yaitu region premolar sampai terasa
kontak dengan tulang. Syringe
kemudian digeser kea rah sisi yang akan dianestesi, harus sejajar dataran
oklusal, jarum ditusukkan lebih lanjut sedalam 6mm lalu lakukan aspirasi. Bila
aspirasi negative, larutan anestesi lokal dikeluarkan ½ cc untuk menganestesi
N. Lingualis. Syringe digeser lagi kea rah posisi pertama
namun tidak peuh, sampai region caninus, kemudian jarum ditusukkan lebih dalam
menyusuri tulang kurang lebih 10- 15 mm sampai terasa konta jarum dengan tulang
terlepas. Lakukan kebali aspirasi, bila negative, larutan anestetikum
dikeluarkan 1cc untuk menganestesi N. Alveolarius inferior.
Anestesi
Blok N. Buccinatorius (Buccal Nerve Block)
Blok N. Buccinatorius ditujukan
untuk menganestesi daerah pipi dan membrane mukosa bukal pada region gigi molar. Saraf yang teranestesi pada blok ini adalah N.
Buccal yang merupakan cabang dari N. V3 yang mempersarafi jaringan lunak dan
periosteum buccal sampai gigi molar mandibular. Anestesi blok N.
Buccinatorius diindikasikan untuk prosedur dental pada region gigi molar rahang
bawah. Namun blok ini merupakan kontraindikasi untuk infeksi atau terdapat
inflamasi akut pada area injeksi
Teknik
Penyuntikan Anestesi Blok N. Buccinatorius
a. Penyuntikan anestesi blok
buccal dilakukan pada coronoid notch, sedikit kemedian dari linea oblique ramus
mandibula. Mukosa bukal dan pipi ditarik kemudian jarum ditusukkan kea rah
lateral dan distal di gigi molar ketiga setinggi 2-3 mm di sekitar oklusal.
b. aspirasi, bila negative, cairan anestetikum dikeluarkan 0,5 cc.
b. aspirasi, bila negative, cairan anestetikum dikeluarkan 0,5 cc.
Posting Komentar